Senin, 17 Desember 2012

Menteri Pertanian: Tak Dapat Bantuan SMS Saya di 081383034444

Menteri Pertanian, Suswono memberi kemudahan layanan kepada petani yang kerap mendapat keterlambatan bantuan seperti pupuk atau benih, untuk segera melaporkan hal tersebut melalui SMS langsung ke Menteri Pertanian. Ia mengatakan itu secara langsung di hadapan sejumlah kelompok tani di Peuranon, Aceh Timur, apabila masih ada okunum birokrasi yang main-main dalam menyalurkan bantuan. "Jadi SMS Kementan tolong dicatat 081383034444, laporkan langsung kalau masih ada yang main-main," ujarnya dalam launching gerakan tanam kedelai nasional di Aceh Timur, Sabtu (15/12/2012). Ia mengaku sedih dengan masih adanya bantuan yang terlambat sehingga membuat petani tidak maksimal dalam produksinya. Padahal semua kebutuhan bantuan pupuk dan benih sudah dialokasikan secara cukup. "Akibatnya kalau ada benih datang terlambat, petani jadi asal-asalan. Makanya tahun depan (2013) tidak boleh ada lagi seperti itu, saya tidak segan-segan proses hukum," ungkapnya.

Beasiswa Fulbright Bidang Pertanian ke AS, Berminat?

ika Anda adalah staf pengajar di perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, beasiswa Fulbright berikut ini patut disimak. USAID kembali menawarkan beasiswa S-2 dan S-3 dalam bidang pertanian ke Amerika Serikat. Sejumlah program studi ditawarkan, antara lain Ilmu Tanah, Patologi Tanaman, Entomologi, Kultur Jaringan dan Propagasi Tanaman, Bioteknologi Pertanian, dan Pertanian Rekayasa. Untuk kandidat yang melamar beasiswa S-2, pastikan telah lulus S-1 dengan IPK minimal 3,0 (skala 4,0) dan memiliki skor minimal 550 untuk TOEFL ITP, 79/80 untuk TOEFL IBT atau skor 6.0 untuk IELTS. Sementara itu, kandidat pelamar S-3 harus sudah menyelesaikan program S-2 dengan nilai IPK minimal yang sama, namun dengan kemampuan bahasa Inggris yang lebih tinggi, yaitu dengan menunjukkan skor TOEFL ITP minimal 575 atau TOEFL IBT minimal 90 atau skor IELTS 6.5. Kandidat pelamar di kedua program ini juga harus memiliki kualitas kepemimpinan dan pemahaman yang baik tentang kebudayaan Indonesia dan internasional serta bersedia untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi ini. Jika berminat, kirimkan berkas aplikasi dan dokumen pelengkapnya ke kantor American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) sebelum 15 April 2013 di CIMB NIAGA Plaza, Lantai 3 jalan Jend. Sudirman Kav. 25, Jakarta 12920. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di laman resmi AMINEF

Pertanian Tradisional Lebih Diminati

Pertanian tradisional sering dilakukan masyarakat pedesaan. Apalagi pertanian tradisional hanya menggunakan alat-alat sederhana seadanya yang mereka miliki. Pupuk dan harga jual hasil pertanian menjadi alasan banyak petani kembali dengan pertanian tradisional. Alasan kesadaran masyarakat kembali ke pertanian tradisional, selain harga pupuk yang mahal juga dikarenakan harga jual panen sering merosot. Apalagi hasil pertanian tradisional sering lebih banyak diminati pembeli, karena hasil panennya murni tanpa ada bahan-bahan pestisida. Selain itu, biaya produksinya pun murah. Cara ini juga bisa mengembalikan kesuburan lahan yang alami tanpa mengurangi hasil panen yang diharapkan. Metode pertanian tradisional sangat efektif melindungi masyarakat dari dampak krisis global, yang sering kali dirasakan oleh para petani. Munculnya kembali proses pertanian tradisional ini dapat digunakan sebagai sarana untuk melawan sistem pertanian industri. Jenis pertanian ini merusak lingkungan sekitar lahan pertanian, yang hingga saat ini masih dilakukan oleh sebagian para petani. Namun, kepedulian terhadap tanaman tradisional tidak begitu saja bisa mendapatkan respons dari para petani lain. Sebab, masyarakat masih banyak tergantung pada bahan-bahan kimia. Sangat wajar, karena sudah puluhan tahun sistem pertanian mereka itu bergantung pada bahan-bahan kimia yang mampu membuat tanaman cepat subur dan tampak bagus. Padahal, tumbuhan itu dipengaruhi oleh bahan-bahan kimia. Sudah saatnya petani diperbolehkan menanam semua jenis tanaman lokal, karena banyak sekali manfaat dari sistem pertanian tradisional ini dibandingkan pertanian industri. Selain pertanian tradisional ramah lingkungan dan tidak memerlukan biaya yang sangat besar, hasil panen yang diperoleh sangat memuaskan juga tidak jauh berbeda dengan hasil pertanian industri. Malahan, hasil pertanian tradisional lebih banyak diminati masyarakat. Sebab, hasil panennya alami dan tidak terkandung pada bahan-bahan kimia.

Sabtu, 15 Desember 2012

Dosen Teknik Pertanian Buat Inovasi Alat Oven Pengasapan Ikan

urusan Teknik Pertanian Fakutas Pertanian Universitas Lampung (FP Unila) hampir setiap tahun menghasilkan alat pertanian inovatif yang membantu masyarakat. Tak hanya untuk petani, teknologi yang dihasilkan juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum. Alat-alat pertanian sederhana yang dihasilkan antara lain alat pengupas kulit tangkil, alat pengupas kulit ari kedelai yang sangat membantu industri pembuatan tahu tempe, hingga granulator yakni alat yang menjadikan tepung berbentuk granul. Inovasi alat yang dihasilkan dan diterapkan jurusan ini melalui salah satu dosennya adalah Oven Pengasapan Ikan. Sebuah alat yang menerapkan teknologi terbaru untuk membantu masyarakat di industri rumahan pengolahan ikan. Akademisi tersebut, Sri Waluyo, telah memberikan kontribusi besar sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi bagi masyarakat, antar lain diterapkan dan membawa perubahan besar bagi masyarakat di Kecamatan Pasirsakti, Lampung Timur. Alat ini dinyatakan telah mampu mendongkrak produksi hingga seratus persen. Misalnya, jika di sana dahulu dalam sehari usaha ini hanya mampu mengolah 50 hingga 60 kilogram ikan, saat ini telah mencapai 130 kg. “Survei saya lakukan sejak Mei 2011 lalu. Berdasarkan hasil survei itu, daerah nelayan tersebut belum mendapatkan perhatian, bahkan bantuan,” ungkapnya, Kamis (26/7). “Di sana selain kuantitas produksi rendah, masalah higienitas pun ternyata tak terjaga. Seperti, pengolahan ikan asap menggunakan pemanggang yang tertutup, sehingga asap pun terkumpul di dalam pemanggang. Padahal, itu bisa membuat tampilan ikan tidak menarik,” paparnya. Masyarakat hanya menggunakan pemanggang dari seng, sehingga menyebabkan adanya potensi kehilangan panas. “Maka alat ini dimodifikasi dengan menambahkan tripleks,” ungkapnya lagi. Ia juga mengaku tak bekerja sendiri. Inovasi terbaru ini juga dibantu beberapa dosen, “seperti Pak Warji sebagai ahli perancangan, Ibu Dyah yang mengetahui seluk-beluk pengolahan ikan, serta Pak Arif yang mengerti administrasi bisnis,” tukasnya. Alat yang dibuat dengan investasi Rp 10 juta per oven itu sudah satu bulan digunakan. Satu oven tersusun 8 tray. Tray dibuat dari stainless steel yang diperkirakan awet hingga 5 tahun. Setiap tray mampu menampung 200 potong ikan Sembilang yang merupakan makanan favorit masyarakat sekitar. Alat ini dilengkapi cerobong sehingga asap tidak hanya berkumpul di dalam oven. “Dulu waktu pengasapan hingga 3 jam, saat ini lebih cepat setengah jam,” bebernya kemudian. “Alat ini juga akan dipamerkan di Jakarta,” tutupnya.

Rabu, 12 Desember 2012

Perkembangan Teknologi Pertanian di Indonesia

        Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia. Pertanian dan pertanian sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahtareaan manusia melalui ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan, pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian tersebut. Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian di Indonesia yang di dalamnya diterapkan teknologi pertanian baik teknologi sederhana maupun sudah sampai teknologi mutakhir. Pertanian, khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahu 1975. Pertanian tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya. Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika. Pertanian generasi II menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan. Untuk generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik. Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi. Bukti kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi komoditas-komoditas pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas, tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. 
       Begitu pula apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di bumi ini. Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di Indonesia. Sebelum mendirikan sekolah pertanian, pemerintah Hindia Belanda telah memprogramkan program culturstelseels di Jawa dan Sumatra, barulah sekolah-sekolah pertanian dan teknik muncul satu per satu mendukung program tersebut. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya Middelbare Landboouw Scholl, Middelbare Bosboouw Scholl, dan Nederlandssch Indische Veerleen Scholl. Untuk sekolah teknik, Hindia Belanda juga mendirikan perguruan tinggi teknik bernama Technische Hoogeshool de Bandoeng pada tahun 1920. Mulai dari situlah berkembangnya ilmu teknik dan teknologi pertanian Indonesia. Selain itu, jauh sebelum banyak dibentuknya sekolah pertanian dan teknik, telah dibentuk terlebih dahulu lembaga dinas penyuluhan (Lanbouw Voorlichting Dients) pada tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian (BPLPP, 1978; Iskandar, 1969). Setelah merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkecuali teknologi pertanian. Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun 1970. Penyuluhan pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian.
Pada saat itu juga telah ada lembaga yang bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik seperti lembaga penelitian pemerintah non-departemen dibawah koordinasi kemenristek.
Namun pada saat itu, yang menjadi kendala dalam pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang terfokusnya penelitian, kurangnya dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh konsentrasi pada penelitian tersebut. Padahal menurut Mangunwidjaja (2009) terdapat empat gatra yang saling berkaitan dalam kebijakan penerapan dan pengembangan teknologi, yaitu a) pentingnya pengetahuan dan teknik dasar bagi teknologi, b) pengembangan sumberdaya manusia untuk pengembangan teknologi, c) percepatan pengalihan hasil penelitian dan pengembangan untuk diterapkan secara komersial, d) diperolehnya keuntungan dari penerapan teknologi tersebut. Apabila keempat gatra tersebut tidak terlaksana, berarti kebijakan Pelita I dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat dikatakan berhasil menggapai tujuan yang dicita-citakan. Pada tahun 60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras dikenalkan dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras, Intensifikasi Khusus, Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut dikenalkan beberapa teknologi modern seperti benih unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia, irigasi dan lain-lain. Selain itu ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992). Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat cepat, penyuluhan tidak lagi mengajak petani bagaimana menanam yang baik, tetapi menuntut petani menerapkan teknologi melalui alih teknologi untuk mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Pada era inilah Revolusi Hijau dilakukan di Indonesia. Revolusi Hijau sendiri mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida yang sesuai dengan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Di samping itu, kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan. Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia tersebut demi tercapainya ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya mampu menjadi negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari 1984 sampai 1989. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi dampaknya. Kesenjangan terjadi di antara petani kaya dengan petani miskin, serta penyelenggara negara tingkat pedesaan. Sistem ini dinilai hanya menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan petinggi pemerintahan tingkat desa saja sedangkan petani miskin tidak merasakan keuntungannya. Antiklimaks pun terjadi. Kerusakan ekologi menjadi tidak terhindarkan karena pemakaian pestisida yang terlampau sering dan banyak yang menjadikan hama kebal terhadap pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak produksi pertanian. Produksi pertanian pun perlahan-lahan anjlok. Dari kejadian tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam meningkatkan produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa. 
     Bagaimanapun juga Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia pada swasembada pangan. Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan pemahaman yang lebih para pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang dialihteknologikan dan diterapkan sehingga berdampak yang kurang baik bagi ekosistem dengan beragam efek sampingnya di masa Revolusi Hijau tersebut. Sekarang seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan mengeliminasi sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya. Terlebih lagi sekarang ini pertanian tidak hanya dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Teknologi green house, kultur jaringan, nanoteknologi, dan tanam gantung dapat dijadikan alternatif. Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan mutu padi atau beras melalui bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan mengolah umbi-umbian dan serealia menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi. Itulah sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan berperan bagi pertanian Indonesia. Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya Revolusi Hijau dan swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu. Teknologi terus berkembang, pertanian terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus selalu disinkronisasikan agar pertanian yang kita perjuangkan ini dapat meraih cita-cita ketahanan pangan Indonesia serta menyejahterakan bangsa Indonesia. (AP/F3_45).

Selasa, 11 Desember 2012

Teknologi Kreatif ala Jurusan Teknik Pertanian Faperta UNILA


Teknologi Kreatif ala Jurusan Teknik Pertanian Faperta Unila


JURUSAN teknologi pertanian. Dari namanya pasti sudah terbayang jurusan ini sangat erat kaitannya dengan teknologi yang berhubungan dengan pertanian. Ya, jurusan ini memang aktif melakukan penelitian menghasilkan alat-alat pertanian dengan teknologi baru yang dapat mempermudah masyarakat. Tak hanya petani, teknologi yang dihasilkan juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum.
    Banyak alat baru dengan teknologi sederhana namun bermanfaat yang telah dihasilkan. Mulai alat pengupas kulit tangkil, alat pengupas kulit ari kedelai yang sangat membantu industri pembuatan tahu tempe, hingga granulator yakni alat yang menjadikan tepung berbentuk granul.
    Tahun ini, salah satu dosen jurusan tersebut kembali menemukan dan menerapkan teknologi terbaru untuk membantu masyarakat di industri rumahan pengolahan ikan. Dia adalah Sri Waluyo. Pria ini yang telah memberikan perubahan besar untuk masyarakat di Kecamatan Pasirsakti, Lampung Timur. Dengan inovasinya, usaha rumahan pengasapan ikan di daerah tersebut maju dan mampu mendongkrak produksi 100 persen lebih.
Jika dahulu dalam sehari usaha ini hanya mampu mengolah 50 hingga 60 kilogram ikan, saat ini telah mencapai 130 kg.
    Ia mengatakan mulai melakukan survei sejak Mei 2011 lalu. Berdasarkan hasil survei itu, terpilihlah Pasirsakti. ’’Daerah nelayan tersebut belum mendapatkan perhatian, bahkan bantuan,” katanya menyebut alasan pemilihan Pasirsakti.
    Kemudian setelah mendaftar berbagai persoalan yang ada, ditemukanlah masalah prioritas yang harus dipecahkan. Yakni pengolahan ikan asap yang harus diperbaiki.
    ’’Selain kuantitas produksi rendah, masalah higienitas pun ternyata tak terjaga. Jadi, pengolahan ikan asap menggunakan pemanggang yang tertutup, sehingga asap pun terkumpul di dalam pemanggang. Padahal, itu bisa membuat tampilan ikan tidak menarik,” terangnya.
    Lalu, pengolah pun tak memperhatikan higienitas makanan. Sebab, jelaga akibat asap dapat mengontaminasi makanan dan menyebabkan penyakit. ’’Selain tidak bersih, juga tak hemat energi,” paparnya.
    Dijelaskan, masyarakat pengolah ikan hanya menggunakan pemanggang dari seng, sehingga menyebabkan adanya potensi kehilangan panas. Oleh sebab itu, alat ini lantas dimodifikasi dengan menambahkan tripleks.
    ’’Untuk membahas inovasi terbaru ini, tak hanya saya, tetapi juga dibantu Pak Warji sebagai ahli perancangan, Ibu Dyah untuk yang mengetahui seluk beluk pengolahan ikan, serta Pak Arif yang mengerti administrasi bisnis,” ungkapnya.    
    Sudah satu bulan ini, menurutnya, alat yang dibuat dengan investasi Rp10 juta per oven itu digunakan. Satu oven tersusun 8 tray. Tray dibuat dari stainless steel yang diperkirakan awet hingga 5 tahun. Setiap tray mampu menampung 200 potong ikan sembilang yang merupakan makanan favorit masyarakat sekitar. Alat ini dilengkapi cerobong sehingga asap tidak hanya berkumpul di dalam oven.
    ’’Sebelumnya mereka menggunakan oven dengan 3 tray, tetapi tergolong tidak tahan lama. Lalu dulu waktu pengasapan hingga 3 jam, saat ini lebih cepat setengah jam,” beber Waluyo.
    Untuk masalah rasa, menurutnya, tergantung bumbu. Namun untuk tampilan, ikan asap ini menggunakan alat tersebut terlihat lebih cerah dan menarik. ’’Alat ini juga akan dipamerkan di Jakarta,” ucapnya. (c1/fik)

Kita dan Pertanian


Ketika orang-orang berpikir investasi emas adalah investasi yang tepat di era global dengan pasar bursa yang tak pasti, sesungguhnya ada investasi yang lebih mahal dan lebih berharga, yakni investasi ilmu pengetahuan. Miris memang, kenyataannya ilmu pengetahuan masih saja kalah dengan paradigma yang sudah melekat kuat di masyarakat. Sebagai seorang mahasiswa pertanian, seringkali mereka masyarakat awam memandang saya dengan setengah mata. Masyarakat saat ini masih saja lebih mengagungkan mereka yang mengambil pendidikan kedokteran. Padahal secara logika, mau makan apa mereka jika tidak makan hasil dari pertanian, mau makan apa mereka jika suatu saat nanti negara kita mengimpor seluruh hasil pertanian dari negara lain hanya karena semua orang lebih memilih jadi dokter.
Perkembangan terbaru adalah munculnya putusan Mahkamah Agung yang mencabut ketentuan impor barang jadi oleh produsen malah berakibat semakin derasnya arus impor barang di Indonesia. Memberi kesan seolah-olah negara kita adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, namun tidak dimanfaatkan dengan baik oleh sumber daya manusia negara itu sendiri. Tak ada yang patut di salahkan, termasuk pihak pemerintah yang masih larut dengan masalah pribadinya yaitu KKN. Harusnya semua elemen memiliki rasa prihatin terhadap negaranya sendiri, termasuk kita sendiri mahasiswa. Berkoar-koar di bawas teriknya sinar matahari atau menerjang derasnya hujan seharusnya tak perlu kita lakukan, lebih baik kita berpikir dan melakukan laku yang lebih nyata terhadap negara kita, tak perlu jauh-jauh, sebagai mahasiswa pertanian kita sebenarnya sangat  memiliki andil dalam mengembangkan pertanian kita.
Kembali kita fokus pada putusan Mahkamah Agung, mereka berdalih agar perusahan manufaktur mendapat kesempatan untuk memperpanjang pasar suatu produk, sebelum memutuskan investasi produksi di dalam negeri karena industri sendiri masih sangat membutuhkan impor produk. Impor ikan sendiri juga dikabarkan naik 35 persen, ini untuk mengatasi kelangkaan bahan baku industri pemindangan dengan ikan jenis subtropis yang tidak ada di perairan.
Orang yang hebat sebenarnya adalah orang yang bisa mengubah masalah menjadi sebuah inovasi, saatnya kita bertindak nyata disini. Menjadi SDM handal, memperbanyak ilmu untuk memajukan negara kita sendiri. Bila masa perang dunia sudah lewat, kita masih bisa menjadi pahlawan yang tak harus bersimbah darah berjuang mencapai kemeredekaan, padahal kita hanya diminta untuk berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan.
Sudah saatnya lahir petani-petani Indonesia yang berbanding lurus dengan perkembangan zaman, teknologi baru seharusnya sudah banyak beredar di negara kita agar kita tidak menjadi negara manja yang terus mengimpor barang-barang dari luar, agar produk dalam negeri tak kalah saing dengan produk luar, agar para petani kita menjadi lebih sejahtera, agar perekonomian kita tak selalu terlilit hutang yang besar dan tentunya mengurangi angka pengangguran.
Pembangunan infrastruktur dan di dukung dengan teknologi pertanian hasil inovasi karya anak bangsa sendiri itu lebih membanggakan. Bisa sebagai contoh yaitu kampung pangan terpadu yang ada di Jambi saat puncak peringatan Hari Pers Nasional ke-27 yang baru-baru ini diselenggarakan di Jambi. Itulah salah satu contoh konkrit yang harusnya kita sebagai pemuda intelek tiru. Bukan sekedar turun di jalan mengumbar teriakan. Mengutip kata-kata sang presiden, dewasanya setiap jengkal tanah, setiap wilayah perairan, “mari kita gunakan untuk meningkatkan sumber pangan di negeri kita ini, apalagi di tengah gejolak pangan dunia seperti sekarang ini.” Untuk itu, mari kita bertindak dan berperan nyata dalam perkembangan teknologi Indonesia. Hidup pertanian Indonesia!

Rabu, 05 Desember 2012

Unila Ciptakan Oven Pengasapan Ikan


Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Universitas Lampung (Unila) tahun ini kembali menciptakan inovasi berupa unik.
Namanya Oven Pengasapan Ikan. Alat ini diciptakan oleh salah satu dosen bernama, Sri Waluyo. Dengan Oven Pengasapan Ikan buatannya, Sri Waluyo telah membantu masyarakat di industri rumahan pengolahan ikan, khususnya di Kecamatan Pasirsakti, Lampung Timur.
Oven buatan Sri Waluyo juga teruji mampu mendongkrak  produksi hingga 100%. Misalnya, jika di sana dahulu dalam sehari usaha ini hanya mampu mengolah 50 hingga 60 kilogram ikan, saat ini telah mencapai 130 kg. Sri Waluyo juga mengatakan, "Survei saya lakukan sejak Mei 2011 lalu. Berdasarkan hasil survei itu, daerah nelayan tersebut belum mendapatkan perhatian, bahkan bantuan.” 
Sri Waluyo juga menuturkan salah satu masalah yang banyak terjadi di pengolahan ikan asap, yakni selain kuantitas produksi rendah juga masalah higienitas. Seperti, pengolahan ikan asap menggunakan pemanggang yang tertutup, sehingga asap pun terkumpul di dalam pemanggang. Padahal, itu bisa membuat tampilan ikan tidak menarik.
Masyarakat hanya menggunakan pemanggang dari seng, sehingga menyebabkan adanya potensi kehilangan panas. “Maka alat ini dimodifikasi dengan menambahkan tripleks,” jelasnya.
Oven  yang dibuat dengan investasi Rp 10 juta per oven itu sudah satu bulan digunakan. Satu oven tersusun 8 tray. Tray dibuat dari stainless steel yang diperkirakan awet hingga 5 tahun. Setiap tray mampu menampung 200 potong ikan Sembilang yang merupakan makanan favorit masyarakat sekitar. Alat ini dilengkapi cerobong sehingga asap tidak hanya berkumpul di dalam oven.
 
“Dulu waktu pengasapan hingga 3 jam, saat ini lebih cepat setengah jam,” bebernya kemudian. “Alat ini juga akan dipamerkan di Jakarta,” tutupnya.


<data:blog.pageName/> | <data:blog.title/> <data:blog.pageTitle/>